BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan mengakibatkan interaksi antar manusia atau perpindahan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan akan sistem perhubungan atau transportasi dan untuk memudahkan pergerakan menjadi lebih cepat, aman, nyaman, dan terintegrasi digunakan alat transportasi.
Pertumbuhan sektor ekonomi terutama di kawasan perkotaan telah memperkuat konsentrasi penduduk di kota-kota besar. Berdasarkan Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan Tahun 2005, saat ini tingkat pertumbuhan penduduk di perkotaan telah mencapai ± 4% per tahun. Angka tersebut lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata nasional yang mencapai ± 1,8%. Diperkirakan 45% dari total penduduk nasional tinggal di perkotaan sampai akhir tahun 1995 sehingga dapat diperkirakan sekitar 140 juta jiwa (52%) dari sekitar 270 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di perkotaan pada tahun 2018 jika gejalanya seperti itu. Pertumbuhan pesat penduduk di kawasan perkotaan tersebut menimbulkan permasalahan transportasi karena peningkatan jumlah penduduk tersebut diikuti dengan pertumbuhan jumlah dan penggunaan kendaraan bermotor dengan tingkat pertumbuhan rata-rata saat ini 12% per tahun. Berdasarkan Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan Tahun 2005, komposisi terbesar adalah sepeda motor karena pada tahun 2002-2003, 73% dari jumlah kendaraan adalah sepeda motor dan pertumbuhannya mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir, bahkan diperkirakan rasio jumlah sepeda motor dan penduduk pada akhir tahun 2005 adalah 1:8.
Pertumbuhan kendaraan yang cukup tinggi di kota-kota besar tidak hanya menyebabkan masalah kemacetan lalu lintas tetapi juga menyebabkan masalah lain, seperti kecelakaan lalu lintas, polusi udara, dan kebisingan serta manyebabkan dampak ikutan berupa stress bagi pengemudi, gangguan kesehatan, dan tundaan bagi pejalan kaki. Menurut data Ditjen Hubdat tahun 1997 dalam Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan Tahun 2005, jika dinominalkan dalam bentuk rupiah masalah kemacetan lalu lintas telah mengakibatkan kerugian sekitar Rp 10 triliun per tahun karena mengakibatkan inefisien sistem jaringan transportasi. Selain itu, waktu yang lebih lama dan jarak tempuh yang lebih panjang akibat kemacetan telah menyebabkan kerugian ekonomi Rp 2,5 triliun per tahun, bahkan biaya operasional kendaraan dan waktu tempuh yang lebih lama mencapai Rp 5,5 triliun per tahun di wilayah Jabodetabek (SITRAMP, 2004 dalam Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan, 2005)
Tingginya tingkat kepadatan lalu lintas di perkotaan Indonesia menjadi masalah khususnya pada upaya pengendalian pencemaran udara dari emisi kendaraan bermotor. Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan Tahun 2005 menyebutkan sekitar 87% kontribusi pencemaran udara berasal dari sektor transportasi. Pencemaran udara merupakan salah satu penyumbang pemansan global sehingga dapat disimpulkan bahwa emisi kendaraan bermotor dengan peningkatan pemanasan global. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang semakin pesat terutama di kota-kota besar menyebabkan semakin banyak pula emisi karbondioksida yang disumbangkan. Data dari citra satelit terbaru menunjukkan bahwa konsentrasi karbondioksida dan gas rumah kaca lain di atmosfer saat ini telah mencapai 435 ppm atau mengalami kenaikan sebesar 30 ppm dari tahun 2008. Rata-rata suhu udara global telah mengalami kenaikan sebesar 0,6o Celsius dari tahun 1850 hingga tahun 2000. Menurut penelitian, kenaikan suhu 1-2o Celsius akan mengancam kondisi kesehatan, kekurangan air, serta menyebabkan persediaan pangan merosot di belahan bumi selatan. Bila kenaikan suhu lebih dari 4o Celsius, maka akan menurunkan produksi pangan di seluruh dunia. Bila kita berada dalam kondisi ini selama cukup lama, maka kemungkinan seluruh es akan mencair dan air laut akan naik setinggi 75 meter. Seorang ilmuwan iklim NASA (2009) mengatakan bahwa lapisan es di kutub utara kemungkinanan besar akan lenyap pada akhir musim panas 2012.
Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi juga telah menigkatkan peranan sektor transportasi dalam menunjang pencapaian sasaran pembangunan dan hasil-hasilnya, bahkan antara fungsi sektor transportasi dan pembangunan ekonomi mempunyai hubungan timbal balik. Karena itu, pemerintah harus menerapkan kebijakan untuk mengembangkan penyediaan transportasi tersebut yang dapat melayani kebutuhan transportasi masyarakat secara baik dan terpadu agar tidak menghambat perkembangan ekonomi karena keberadaan penyediaan transportasi baik dari segi prasarana maupun sarana masih jauh dari karakteristik ideal.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang terus berkembang memunculkan konsep transportasi berkelanjutan sebagai tuntutan dari segala masalah transportasi. Menurut Brotodewo (2010), konsep transportasi berkelanjutan tersebut mengintegrasikan pembangunan dari segi lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam pembangunan transportasi dan konsep transportasi berkelanjutan memiliki prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan untuk melihat pembangunan sistem transportasi yang menunjukkan ciri-ciri berkelanjutan. Konsep transportasi berkelanjutan tersebut untuk menjawab segala masalah transportasi yang terjadi dan dampaknya juga berpengaruh pada peningkatan pemanasan global (global warming).
Pada kawasan perkotaan di Indonesia, transportasi darat merupakan moda transportasi yang paling dominan dibanding moda transportasi lainnya. Dari jumlah transportasi yang melalui jalan tersebut, penggunaan kendaraan pribadi lebih dominan dari pada kendaraan angkutan umum. Padahal menurut Aminah (tt) lebih mudah mewujudkan transportasi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, sosial, dan ekonomi dengan sistem transportasi yang berbasis pada penggunaan angkutan umum dibanding dengan sistem transportasi yang berbasis pada penggunaan kendaraan pribadi.
Seperti yang terjadi pada Kota Jakarta, yaitu ibu kota Negara Indonesia. Berikut adalah paparan dari Heru Sutomo sebagai pembicara pada Studium Generale bertema ”Sustainable Transportation System in DKI Jakarta” yang dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 2007 di Nagoya University, Jepang mengenai kondisi transportasi di Kota Jakarta. Pada tahun 1970an pemakaian kendaraan umum sebesar 70% total pemakaian kendaraan di jalan. Angka ini mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu sebesar 57% di tahun 1985 dan hanya 45% di tahun 2000. Penurunan minat pengguna kendaraan umum disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya karena terjadinya motorisasi besar-besaran, bahkan lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis terjadi yaitu meningkat 16%-18% per tahun. Sekitar 5 juta kendaraan bertambah setiap tahun dan pada tahun 2007 diperkirakan sekitar 35 juta populasi kendaraan. Kondisi lain yang menurunkan minat berkendaraan umum adalah ketidaknyamanan sarana transportasi, baik dari alat transport yang kurang pemeliharaan maupun gangguan keamanan. Naiknya peningkatan jumlah kendaraan pribadi secara otomatis menyebabkan polusi udara yang memperparah lingkungan di Jakarta dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar, yaitu US $ 181.4 juta di tahun 1985 dan diperkirakan akan meningkat menjadi US $ 402.64 di tahun 2015.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana kaitan antara transportasi berkelanjutan dengan transportasi publik?
2. Apakah permasalahan dan potensi transportasi publik di perkotaan Negara Indonesia?
3. Bagaimana strategi penerapan transportasi publik di perkotaan Negara Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari permasalahan tersebut diatas maka tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Menjelaskan hubungan antara transportasi berkelanjutan dengan transportasi publik.
2. Mengetahui permasalahan dan potensi transportasi publik di perkotaan Negara Indonesia.
3. Memaparkan strategi penerapan transportasi publik di perkotaan Negara Indonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Transportasi Berkelanjutan
Transportasi merupakan usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat lain karena di tempat lain tersebut objek tersebut akan lebih bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu (Miro, 2005). Hampir semua wilayah di Negara Indonesia masih memiliki masalah di bidang trasnportasi terutama di wilayah perkotaan. Timbulnya banyak masalah transportasi tersebut membuat pemerintah dan para ahli tranportasi di Indonesia berusaha mencari solusi akan masalah yang ada.
Selain itu, isu pemanasan global juga menjadi alasan berkembangnya transportasi berkelanjutan. Pemanasan global merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim dan efek rumah kaca mengancam kehidupan manusia sehingga menjadi perhatian utama bagi seluruh negara-negara di dunia baik negara maju maupun negara berkembang beberapa tahun belakangan ini. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa mengurangi pengeluaran CO2 akan memperkecil pemanasan global, sehingga 181 pemerintah menandatangani Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi bahan kimia beserta lima “gas rumah hijau” lain pada tahun 1997. Salah satu penghasil gas CO2 adalah dari gas buang kendaraan bermotor. Dalam hal ini, sistem transporatasi memegang peranan penting dalam pengendaliannya. Sistem transportasi selama ini yang berorientasi pada pelebaran jalan mendorong orang untuk menggunakan kendaraan pribadi sehingga mendukung pertumbuhan kendaraan.
Keinginan untuk mencegah pemanasan global dan mengatasi permasalahan transportasi perkotaan telah memunculkan konsep transportasi berkelanjutan yang merupakan gagasan dari pembangunan berkelanjutan.
Menurut Aminah (tt), sistem transportasi yang berkelanjutan adalah suatu sistem transportasi yang dapat mengakomodasikan aksesibilitas semaksimal mungkin dengan dampak negatif yang seminimal mungkin. Konsep transportasi berkelanjutan merupakan pengembangan dari konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable city). Sustainable city ditandai dengan sumber daya yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini serta generasi mendatang. Sumber daya tersebut digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan memberikan kualitas hidup yang lebih baik dengan membatasi limbah, mencegah polusi, konservasi dan memaksimalkan efisiensi, serta mengembangkan sumber daya local untuk revitalisasi ekonomi (Concern, 1993).
Berdasarkan Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan Tahun 2005 yang mengutip dari buku Taking Steps: A Community Action Guide to People-Centred, Equitable and Sustainable Urban Transport yang dikarang oleh A.R. Barter Tamim Raad, sistem transportasi berkelanjutan harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Aksesibilitas Untuk Semua Orang
Sistem transportasi yang berkelanjutan dapat menjamin akses mobilitas bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk para penyandang cacat, anak-anak dan lansia, untuk menjangkau kebutuhan fasilitas dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
2. Kesetaraan Sosial
Sistem transportasi berkelanjutan selayaknya tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat tingkat atas, yaitu tidak hanya dengan mengutamakan pembangunan jalan raya dan jalan tol semata.
3. Keberlanjutan Lingkungan
Sistem transportasi berkelanjutan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Oleh karena itu, selain efisiensi dan kinerja dari kendaraan, sistem transportasi yang berkelanjutan harus mempertimbangkan jenis bahan bakar yang digunakan.
4. Kesehatan dan Keselamatan
Secara umum, kegiatan transportasi menghasilkan pencemaran udara sekitar 70%. Hal tersebut secara langsung, maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap kesehatan terutama terhadap sistem pernafasan. Selain itu, kecelakaan di jalan raya mengakibatkan kematian sekitar 500 ribu orang per tahun dan mengakibatkan cedera berat bagi lebih dari 50 juta lainnya. Sistem transportasi yang berkelanjutan harus dapat menekan dampak terhadap kesehatan dan keselamatan diatas.
5. Partisipasi Masyarakat dan Transparansi
Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk turut menentukan sarana transportasi yang ingin digunakan serta terlibat dalam proses pengadaannya karena sistem transportasi disediakan untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat. Partisipasi tersebut harus terus diperkuat agar suara masyarakat dapat diperhitungkan dalam proses perencanaan, implementasi dan pengelolaan sistem transportasi kota. Transparansi juga merupakan suatu hal yang penting untuk menunjang partisipasi. Keterbukaan dan ketersediaan informasi selama proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan menjamin terlaksananya sistem yang baik dan memihak pada masyarakat.
6. Biaya Rendah dan Ekonomis
Sistem transportasi yang berkelanjutan adalah yang berbiaya rendah (ekonomis) dan terjangkau karena sistem transportasi yang berkelanjutan tidak terfokus pada masyarakat lapisan atas sehingga hanya akan mangutamakan akses terhadap kendaraan bermotor semata, melainkan terfokus pada seluruh lapisan masyarakat.
7. Informasi
Masyarakat harus memahami latar belakang pemilihan sistem transportasi serta kebijakannya untuk terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan serta pengelolaan sistem transportasi. Hal tersebut merupakan bagian untuk menjamin proses transparansi dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan transportasi kota.
8. Advokasi
Diperlukan advokasi untuk memastikan terlaksananya sistem transportasi yang tidak lagi memihak pada pengguna kendaraan bermotor pribadi semata melainkan memihak pada kepentingan orang banyak. Pada kota-kota besar, seperti Tokyo, London, Toronto dan Perth, advokasi masyarakat mengenai sistem transportasi berkelanjutan telah mampu mengubah sistem transportasi kota sejak tahap perencanaan.
9. Peningkatan Kapasitas
Peningkatan kapasitas sangat diperlukan bagi pembuat kebijakan dalam sektor transportasi untuk dapat memahami paradigma baru dalam pengadaan sistem transportasi yang lebih bersahabat, memihak pada kepentingan masyarakat dan tidak lagi tergantung pada pemanfaatan kendaraan bermotor pribadi semata.
10. Jejaring Kerja
Sebagai ajang bertukar informasi dan pengalaman, jejaring kerja antar berbagai stakeholder sangat diperlukan terutama untuk dapat menerapkan sistem transportasi kota yang berkelanjutan.
3.2 Transportasi Publik
Transportasi publik merupakan sarana transportasi utama yang digunakan di bumi. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, pengertian kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1993 menyebutkan bahwa definisi dari angkutan umum adalah pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan untuk umum dengan dipungut bayaran.
Adapun dalam sistem transportasi publik akan dikenal mengenai istilah trayek, dimana trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk pelayanan jasa angkutan orang dengan mobil bus, yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak berjadwal, sedangkan jaringan trayek adalah kumpulan dari trayek-trayek yang menjadi satu kesatuan jaringan pelayanan angkutan orang (Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum).
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum terdapat penetapan jaringan trayek yang dilakukan berdasarkan jaringan transportasi jalan dengan mempertimbangkan bangkitan dan tarikan perjalanan pada daerah asal dan tujuan, jenis pelayanan angkutan, hirarki kelas jalan yang sama dan/atau yang lebih tinggi sesuai ketentuan kelas jalan yang berlaku, tipe terminal yang sesuai dengan jenis pelayanannya dan simpul transportasi lainnya yang meliputi bandar udara, pelabuhan dan stasiun kereta api, tingkat pelayanan jalan yang berupa perbandingan antara kapasitas jalan dan volume lalu lintas. Kriteria penetapan jaringan trayek meliputi: titik asal dan tujuan merupakan titik terjauh, berawal dan berakhir pada tipe terminal yang sesuai dengan jenis pelayanannya, lintasan yang dilalui tetap dan sesuai dengan kelas jalan.
Tahapan kegiatan yang dilaksanakan untuk penetapan jaringan trayek sekurang-kurangnya meliputi (Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003): melakukan penelitian asal dan tujuan perjalanan orang menurut zona jenis pelayanan angkutan, menentukan variabel yang berpengaruh terhadap bangkitan dan tarikan perjalanan, menghitung bangkitan dan tarikan perjalanan untuk kondisi sekarang dan tahun perencanaan, menentukan model perhitungan distribusi perjalanan, menghitung distribusi perjalanan untuk kondisi sekarang dan tahun perencanaan, menentukan model perhitungan pembebanan perjalanan/jalan-jalan yang dilalui, menghitung pembebanan perjalanan untuk kondisi sekarang dan tahun perencanaan, mengkonversi jumlah perjalanan orang menjadi jumlah kendaraan dengan mempertimbangkan jumlah frekwensi, faktor muatan 70%, kapasitas kendaraan yang akan melayani.
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, untuk menjaga keseimbangan pelayanan angkutan, mengantisipasi pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan wilayah maka dilakukan evaluasi kebutuhan penambahan kendaraan pada tiap-tiap trayek. Evaluasi kebutuhan penambahan kendaraan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah kendaraan pada trayek yang terbuka atau tertutup untuk penambahan kendaraan pada setiap trayek. Evaluasi kebutuhan penambahan kendaraan dilakukan dengan mempertimbangkan (Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003):
a. Jumlah perjalanan pergi-pulang per hari rata-rata dan tertinggi;
b. Jumlah rata-rata tempat duduk kendaraan;
c. Laporan realisasi faktor muatan;
d. Faktor muatan 70 %;
e. Tersedianya fasilitas terminal yang sesuai;
f. Tingkat pelayanan jalan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, penetapan jaringan trayek, kebutuhan kendaraan dan evaluasi kebutuhan penambahan kendaraan untuk pelayanan angkutan dalam trayek dilakukan oleh Menteri Perhubungan atau pejabat yang ditunjuk untuk jaringan trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antar negara, oleh Direktur Jenderal untuk jaringan trayek yang melalui lebih dari satu daerah propinsi, oleh Gubernur untuk jaringan trayek yang melalui antar daerah kabupaten/kota dalam satu daerah propinsi, oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk jaringan trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Bupati untuk jaringan trayek yang seluruhnya berada dalam daerah kabupaten, dan oleh Walikota, untuk jaringan trayek yang seluruhnya berada dalam daerah kota.
Terdapat klasifikasi angkutan orang dengan kendaraan umum dalam trayek berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum adalah sebagai berikut:
1. Angkutan Lintas Batas Negara adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melewati lintas batas negara dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek;
2. Angkutan Antar Kota Antar Propinsi adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melalui antar daerah Kabupaten / Kota yang melalui lebih dari satu daerah Propinsi dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek;
3. Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melalui antar daerah Kabupaten / Kota dalam satu daerah Propinsi dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek;
4. Angkutan Kota adalah angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah Kota atau wilayah ibukota Kabupaten atau dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan menggunakan mobil bus umum atau mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek;
5. Angkutan Perdesaan adalah angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah Kabupaten yang tidak termasuk dalam trayek kota yang berada pada wilayah ibukota Kabupaten dengan mempergunakan mobil bus umum atau mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek;
6. Angkutan Perbatasan adalah angkutan kota atau angkutan perdesaan yang memasuki wilayah kecamatan yang berbatasan langsung pada Kabupaten atau kota lainnya baik yang melalui satu Propinsi maupun lebih dari satu Propinsi;
7. Angkutan Khusus adalah angkutan yang mempunyai asal dan/atau tujuan tetap, yang melayani antar jemput penumpang umum, antar jemput karyawan, permukiman, dan simpul yang berbeda;
Selain yang disebutkan diatas terdapat angkutan orang dengan kendaraan umum yang tidak dalam trayek berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, yaitu sebagai berikut:
1. Angkutan Taksi adalah angkutan dengan menggunakan mobil penumpang umum yang diberi tanda khusus dan dilengkapi dengan argometer yang melayani angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi terbatas;
2. Angkutan Sewa adalah angkutan dengan menggunakan mobil penumpang umum yang melayani angkutan dari pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi, dalam wilayah operasi yang tidak terbatas;
3. Angkutan Pariwisata adalah angkutan dengan menggunakan mobil bus umum yang dilengkapi dengan tanda-tanda khusus untuk keperluan pariwisata atau keperluan lain diluar pelayanan angkutan dalam trayek, seperti untuk keperluan keluarga dan sosial lainnya;
4. Angkutan Lingkungan adalah angkutan dengan menggunakan mobil penumpang umum yang dioperasikan dalam wilayah operasi terbatas pada kawasan tertentu;
Adapun transportasi publik diatas menggunakan moda angkutan tertentu sesuai klasifikasi. Berikut macam-macam angkutan umum yang digunakan dalam sisten transportasi publik (Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003):
1. Bus Besar, adalah kendaraan bermotor dengan kapasitas lebih dari 28 dengan ukuran dan jarak antar tempat duduk normal tidak termasuk tempat duduk pengemudi dengan panjang kendaraan lebih dari 9 meter;
2. Bus Sedang, adalah kendaraan bermotor dengan kapasitas 16 s/d 28 dengan ukuran dan jarak antar tempat duduk normal tidak termasuk tempat duduk pengemudi dengan panjang kendaraan lebih dari 6,5 sampai dengan 9 meter;
3. Bus Kecil, adalah kendaraan bermotor dengan kapasitas 9 s/d 16 dengan ukuran dan jarak antar tempat duduk normal tidak termasuk tempat duduk pengemudi dengan panjang kendaraan 4-6,5 meter;
5. Mobil Penumpang, adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyakbanyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.
Sistem transportasi publik yang dikelola dengan baik akan memberikan layanan dan kemudahan akses bagi semua kalangan masyarakat untuk mencapai tujuannya. Berdasarkan Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan Tahun 2005, sistem transportasi publik dapat berupa bus (seperti busway di DKI Jakarta), truly bus (bertenaga listrik, seperti kereta listrik), trem, Mass Rapid Transit (MRT), car pooling (feeder bus), mono rel, Kereta Listrik. Jenis-jenis angkutan jalan yang termasuk sistem transportasi publik adalah Bus, Tax, Mikrolet, Bemo, Becak, Delman dan Andong dan jenis angkutan rel yang termasuk sistem transportasi publik adalah Kereta. Adapun jenis-jenis kereta meliputi: Kereta Diesel, Kereta Listrik, Trem, Monorel, Kereta Maglev.
Angkutan massal bertenaga listrik mempunyai keunggulan dalam keramahan lingkungan, yaitu pemakaian listrik tidak mencemari jalur lalu-lintas yang dilalui, tetapi kekurangannya akan lebih terkendali atau terlokalisasi di tempat pembangkitan listrik saja.
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Transportasi Publik Mewujudkan Transportasi Berkelanjutan
Salah satu gas rumah kaca yang beperan terhadap pemanasan global adalah gas karbondioksida. Emisi gas karbondioksida dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor sehingga dapat dikatakan bahwa kendaraan bermotor sebagai salah satu penyumbang pemanasan global.
Kampanye Go Green untuk mengurangi dampak pemanasan global mengajak orang untuk menerapakan gaya hidup penghematan air, pengelolaan sampah, dan penghematan energi. Salah satu bentuk penghematan energi adalah mengurangi penggunaan energi pada kendaraan bermotor yang juga dapat mengurangi gas CO2 penyebab global warming. Karena itu, muncul konsep transportasi berkelanjutan dari konsep pembangunan berkelanjutan yang menerapkan integrasi anatara lingkungan, ekonomi dan sosial. Selain itu, munculnya konsep transportasi berkelanjutan juga karena masalah transportasi di perkotaan yang dapat mencapai ambang batas jika tidak ditanggulangi dengan segera.
Mengurangi gas CO2 untuk mencegah pemanasan global dan mengatasi masalah transportasi perkotaan melalui pengembangan sistem transportasi berkelanjutan dapat dilakukan dengan pengembangan transportasi publik. Transportasi berkelanjutan juga dapat dicapai melalui pembaharuan teknologi transportasi yang ramah lingkungan dengan pemakaian bahan bakar ramah lingkungan, penggunaan teknologi mesin yang memaksimalkan hemat energi, penggunaan teknologi mesin yang dapat mengontrol emisi gas buang, dan angkutan yang dapat menampung daya angkut besar, namun membutuhkan penelitian yang lama dan biaya yang tidak sedikit sehingga untuk menanggulangi dampak dari sistem transportasi yang ada selama ini perlu dilakukan tindakan yang cepat karena tidak mungkin hanya menunggu pembaharuan teknologi transportasi. Selain itu, sistem transportasi publik sesuai untuk penerapan prinsip-prinsip transportasi berkelanjutan yang disebutkan oleh A.R. Barter Tamim Raad dalam Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan Tahun 2005:
1. Aksesibilitas Untuk Semua Orang
Pemenuhan akses mobilitas bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk para penyandang cacat, anak-anak dan lansia, untuk menjangkau kebutuhan fasilitas dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan dapat dilakukan dengan penyediaan sistem angkutan umum yang baik.
2. Kesetaraan Sosial
Pemenuhan kesetaraan sosial dapat dilakukan dengan penyediaan sarana angkutan umum yang terjangkau dan memiliki jaringan yang baik sehingga semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan transportasi yang diberikan.
3. Keberlanjutan Lingkungan
Penggunaan angkutan umum (massal) yang diintegrasikan dan dikombinasikan dengan kendaraan tak bermotor, seperti sepeda dan jalan kaki dapat meminimalkan dampak sistem transportasi terhadap lingkungan untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan.
4. Kesehatan dan Keselamatan
Jika tidak ditanggulangi dengan penggunaan angkutan umum, aktifitas transportasi dan lalu lintas yang semakin meningkat akan semakin meningkatkan korban yang jatuh akibat kecelakaan karena sistem transportasi yang berbasis pada penggunaan angkutan umum akan mengurangi volume kendaraan. Selain itu, penggunaan angkutan umum akan mengurangi emisi kendaraan dan kebisingan setiap harinya sehingga akan mengurangi resiko penyakit akibat polusi udara dan suara.
5. Partisipasi Masyarakat dan Transparansi
Jangan hanya melibatkan partisispasi masyarakat yang telah memiliki fasilitas, seperti motor atau mobil dalam menentukan sistem transportasi karena hanya akan berorientasi pada pembangunan jalan, melainkan juga melibatkan masyarakat yang tidak memiliki fasilitas karena seluruh masyarakat tetap memerlukan mobilitas dalam kesehariannya sehingga akan mengembangkan transportasi publik.
6. Biaya Rendah dan Ekonomis
Angkutan umum memiliki biaya operasi yang rendah karena melayani orang banyak dan ekonomis untuk kelas masyarakat yang dituju. Pelayanan yang diberikan dapat dibagi menjadi beberapa kelas yang mempertimbangkan biaya operasi dan keterjangkauannya bagi kelas masyarakat yang dituju.
7. Informasi
Masyarakat yang mamanfaatkan transparansi perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan akan mengerti kebutuhannya akan angkutan umum karena menyadari keadaan persoalan transportasi di perkotaan.
8. Advokasi
Advokasi dapat dilakukan oleh berbagai pihak dan dalam berbagai bentuk. Penguatan bagi pengguna angkutan umum misalnya, akan sangat membantu dalam mengelola sistem transportasi umum yang aman dan nyaman.
9. Peningkatan Kapasitas
Peningkatan kapasitas akan menyadarkan pembuat kebijakan dalam sektor transportasi akan pentingnya angkutan umum untuk mencapai sistem transportasi yang lebih baik.
10. Jejaring Kerja
Kerjasama yang baik antar stakeholder sangat menentukan pencapaian sistem angkutan umum yang baik.
Sayangnya, penggunaan transportasi publik belum dapat menjadi budaya bagi kota-kota di Indonesia. Jika transportasi publik dapat diterapkan, tidak hanya dampak pemanasan global saja yang dapat dikurangi, tetapi masyarakat juga akan merasakan manfaat berkurangnya masalah transportasi perkotaan. Berikut merupakan bagan yang memperlihatkan bahwa transportasi publik mengatasi masalah transportasi perkotaan dan mencegah pemanasan global:
Gambar 3.1 Dampak Penggunaan Transportasi Publik
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Gambar diatas menjelaskan mengenai dampak langsung dan dampak tidak langsung dari pengembangan sistem transportasi publik. Penggunaan transportasi publik oleh masyarakat akan mengurangi volume kendaraan karena beralihnya penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum. Pengurangan volume kendaraan atau penurunan aktifitas lalu lintas akan berdampak langsung pada pengurangan emisi kendaraan dan dapat mengatasi kemacetan lalu lintas.
Pengurangan emisi kendaraan juga akan mengurangi sumber pemanasan global karena seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa emisi kendaraan menghasilkan CO2 yang merupakan salah satu gas penyebab pemanasan global. Selain itu, rendahnya emisi kendaraan akibat menurunya volume kendaraan dapat mengurangi polusi atau pencemaran udara (gas buang kendaraan menyebabkan udara tercemar) dan menurunkan dampak kebisingan.
Dengan mengatasi kemacetan maka telah mengatasi segala dampak ikutan yang menyertainya, seperti mengurangi kecelakaan lalu lintas, mencegah tundaan bagi penjalan kaki, mencegah kerugian ekonomi akibat kemacetan, dan mengurangi stress pada pengemudi. Menurunya polusi udara, menurunya kebisingan, kurangnya stress pada pengemudi berdampak pada peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, tetapi apabila ketiga kategori tersebut tidak ditanggulangi akan berdampak pada gangguan kesehatan masyarakat.
Mungkin saat ini bagi kota-kota kecil belum memerlukan transportasi publik, meskipun begitu untuk perencanaan ke depan terkait perencanaan pengembangan wilayah dan pertumbuhan populasi perlu memperhitungkan sistem transportasi publik sehingga harus diakomodasi dalam perencanaan, terutama bagi pengembangan jaringan dan segala infrastruktur yang terkait, bahkan harus mempersiapkan keberadaannya dengan berbagai kebijakan untuk menanggulangi sistem transportasi yang tidak diinginkan, seperti perkembangan penggunaan kendaraan pribadi karena dapat disimpulkan bahwa transportasi publik lebih mudah dan cepat dalam mencapai transportasi yang berkelanjutan.
3.2 Kondisi Transportasi Publik di Perkotaan Indonesia
A. Masalah Transportasi Publik di Perkotaan Indonesia
Kondisi yang terlihat pada transportasi publik akhir-akhir ini adalah transportasi publik yang kurang memberikan kenyamanan, keamanan dan keterjangkauan dan memperlihatkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi sehingga berakibat secara tidak langsung pada peminggiran masyarakat untuk melakukan mobilitas. Adapun permasalahan transportasi publik di perkotaan Indonesia merupakan jabaran dari dari permasalahan sistem transportasi publik di perkotaan yang masih belum tertata dengan baik dan sistem pelayanan transportasi publik di perkotaan yang belum memadai.
Permasalahan sistem transportasi publik di perkotaan yang masih belum tertata dengan baik dapat ditinjau dari:
1. Kebijakan yang belum berpihak sepenuhnya pada sistem transportasi publik.
Kemudahan untuk membeli kendaraan pribadi, seperti mobil dan motor melalui kemudahan kredit telah mendorong tumbuhnya kendaraan pribadi secara cepat dan mencengangkan. Menurut para pengguna kendaraan roda dua, menggunakan kendaraan roda dua lebih menguntungkan secara financial dibandingakan menggunakan angkutan umum, padahal penggunaan motor roda dua bukan pilihan yang baik karena mengandung resiko keselamatan yang sangat tingi.
2. Manajemen terminal masih lemah menyebabkan transportasi bus selama ini belum maksimal.
Ditandai dengan jaringan transportasi bus yang belum memiliki interkoneksi yang memadai dan rute bus yang masih tumpang tindih yang mencapai 60% (Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan, 2005).
3. Sistem transportasi cepat dan massal belum mencukupi.
Sistem transportasi cepat dan massal ini lebih dicirikan oleh keberadaan kereta api karena angkutan kereta api yang dapat menampunbg massa dalam julah yang sangat banyak dan memiliki waktu tempuh yang sangat cepat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, keberadaan kereta api belum dikembangakan dengan baik malah mengalami penyusustan. Selain kereta api, bus juga dapat memenuhi standar cepat dan massal tersebut, namun tergolong masih belum mencukupi dan tidak diimbanghi dengan sistem yang baik sehingga yang terjadi adalah pemborosan waktu dan kelebihan kapasitas.
4. Infrastruktur pembangkit transportasi publik seperti infrastruktur transportasi tidak bermotor belum tersedia.
Pengadaan infrastruktur selama ini hanya untuk kendaraan bermotor karena pengadaan infrastruktur seperti jalan hanya akan menjadi pembangkit bagi kendaraan bermotor, sedangkan pengadaan infrastruktur untuk kendaraan tidak bermotor, seperti jalur pedestrian dan jalur bagi sepeda tidak ada. Padahal, jalur pedestrian dan jalur sepeda tersebut merupakan pendukung dan penarik untuk menggunakan transportasi publik.
Jika dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk membangun jalan layang, padahal pembangunan trotoar akan memakan biaya yang lebih kecil. Dengan konsep pembangunan yang hanya ditujukan pada pengguna kendaraan bermotor, jangan harap ada penambahan trotoar di ruas-ruas jalan. Trotoar yang sudah ada pun kondisinya sangat menyedihkan. Kondisi perkerasan yang dibuat dengan susunan batako sudah banyak yang rusak. Bahkan di beberapa tempat banyak lubang yang membahayakan keselamatan pejalan kaki. Pengembangan infrastruktur pedestrian dan jalur pesepeda tiak hany sebatas jalurnya, tetapi juga fasilitasnya, seperti tempat sampah, tempat duduk, dan lampu penerang sehingga kegiatan berjalan kaki dan bersepeda menjadi nyaman. Memang terlihat sangat kompleks, namun bila dijalani dengan komitmen yang kuat maka akan menghasilkan sesuatu yang besar dan mendukung pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi selanjutnya.
5. Pengelolaan kebutuhan transportasi belum efektif.
Kebutuhan perjalanan dari dan ke sentra bisnis masih tinggi pada jam-jam padat karena pengelolaan kebutuhan transportasi yang kurang baik. Selain itu, disebabkan oleh penataan runag kota yang tidak terintegrasi dengan baik dengan kebutuhan transportasi.
6. Transportasi berbasis rel belum berkembang malah menyusut karena selama ini sistem transportasi berorientasi jalan. Perlu pengembangan transportasi publik yang diorientasikan pada penggunaan rel.
Akhir-akhir ini yang lebih dikembangkan adalah jaringan jalan raya, sedangkan jaringan yang berbasis rel hampir tidak ada pengembangan, malah terjadi penyusutan dibandingkan jaman penjajahan Belanda, ditandai dengan penutupan operasi sebagian jalur KA. Pembangunan yang berorientasi pada keuntungan semata dengan pengembangan jalan tol semata, secara tidak langsung memicu pertumbuhan kendaraan bermotor, untuk menikmati kenyamanan berkendaraan. Jaringan tol telah membuka akses baru, dan memunculkan sistem transportasi yang cenderung tidak dapat dibendung jumlahnya. Hal tersebut semakin berdampak pada peminggiran penggunaan transportasi publik.
Demi dampak lingkungan yang lebih kecil dan penghematan penggunaan energi maka dalam perencanaan sistem transportasi publik lebih baik diorientasikan pada penggunaan rel, bahkan jaringan rel lebih cepat dan sangat menghindari dari kemacetan karena mempunyai jalur sendiri.
Permasalahan sistem pelayanan transportasi publik di perkotaan yang belum memadai ditandai dengan:
1. Belum ada standar pelayanan minimal yang harus dipenuhi oleh pengelola transportasi publik.
Sistem pelayanan transportasi publik yang baik belum dapat dilaksanakan, apalagi dengan belum tersedianya pedoman standar pelayanan minimum transportasi publik. Lemahnya tingkat pelayanan transportasi umum, sehingga mengakibatkan keengganan masyarakat untuk beralih menggunakan transportasi umum.
Pelayanan angkutan umum, meliputi: kenyamanan, keselamatan, keamanan, ketepatan waktu dan pelaksanaan uji berkala angkutan umum. Sistem Pengujian Kendaraan Bermotor (kelayakan jalan dan persyaratan teknis kendaraan umum) yang efektif meliputi mekanisme pengawasan, pemantauan, dan evaluasi kinerja Pengujian Kendaraan Bermotor harus diterapkan secara konsisten.
Kelemahan pelayanan transportasi publik dilihat dari:
a. Sarana dan prasarana pelayanan transpotasi publik yang kurang memadai. Kurangnya sarana pelayanan transportasi publik, seperti mekrolet atau angkot karena meskipun peminat dari transportasi publik masih sangat kurang, namun yang sangat kurang inipun tidak diakomodir dengan baik. Prasarana pelayanan transportasi publik yang dimaksud adalah terminal dan jalan, kondisi terminal dan jalan saat ini terlihat tidak memadai atau tidak menunjukkan pelayanan yang baik terhadap penggunan kendaraan.
b. Kapasitas angkut kendaraan umum masih terbatas. Kapasitas angkut kendaraan umum yang msih terbatas tersebut dilihat dari masih ada pelanggan yang tidak terlayani atau harus berdesakan jika ingin cepat mencapai tujuan.
c. Pengaturan waktu dan wilayah layanan angkutan umum masih belum memadai. Angkutan umum yang ada tidak mempunyai pengaturan waktu yang baik sehingga tidak efektif dalam ketepatan waktu dan meskipun sudah terdapat pembagian wilayah layanan, terkadang masih ditemukan angkutan umum yang tidak patuh terhadap aturan dalam operasional, bahkan masih terdapt wilayah yang tidak mendapat layanan angkutan umum.
d. Waktu tempuh yang cukup lama. Karena tidak ada sistem pengaturan waktu tersebut maka tidak ada standar ketepatan waktu yang digunakan, namun dari kondisi yang ada, masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi diabnding angkutan umum, salah satu penyebab utamanya adalah lebih efisien waktu atau lebih mudah mencapai tujuan dengan kendaraan pribadi.
e. Pemantauan kualitas pelayanan angkutan umum belum dilaksanakan dengan baik. Tidak ada pemantauan untuk pelayanan angkuytan umum dan meskipun sudah ada, pemantauan belum dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari keadaan transportasi publik saat ini yang menunjukkan tingkat keamanan yang sangat rendah, tingkat kenyamanan yang sangat rendah, dan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas angkut. Tingkat keamanan yang rendah ditunjukkan dengan kerawanan kejadian kriminal, seperti pencopetan, penodongan dan kejahatan seksual baik di lingkungan sarana maupun prasaranan transportasi publik, sedangkan tingkat kenyamanan yang rendah ditunjukkan dengan terganggunya penumpang oleh pedagang asongan, pengamen dan pengemis, selain itu berkaitan juga dengan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas karena dipaksakan oleh operatornya sehingga menyebabkan penumpang harus berdesakan.
f. Tidak ada perhatian yang memadai bagi orang tua dan penyandang cacat. Perhatian bagi penumpang umum saja masih tidak layak karena tingkat pelayanan yang masih kurang, apalagi perhatian terhadap pengguna yang tergolong lansia, anak-anak, dan penyandang cacat sama sekali tidak ada.
g. Aksesibilitas yang sulit untuk beberapa daerah tertentu. Seperti yang pernah disinggung sebelumnya bahwa masih terdapt kawasan yang tidak mendapat layanan transportasi publik sehingga aksesibilitas untuk mencapi daerah tersebut menjadi sangat sulit.
2. Lemahnya interkoneksi antar moda menyebabkan inefisiensi waktu.
Masih banyak terminal dan stasiun yang tidak berorientasi pada transit dan terintegrasi dengan moda transportasi publik sehingga menyulitkan pengguna jasa transportasi untuk pindah ke moda transportasi lainnya.
Perlu integrasi antar moda angkutan umum untuk memudahkan pengguna angkutan umum dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu integrasi moda angkutan umum dengan angkutan tak bermotor, seperti berjalan kaki dan sepeda. Kekurangan selama ini, integrasi antar moda angkutan umum atau antara moda angkutan umum dengan transportasi bangkitan tidak baik sehingga menyebabkan menambah keengganan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.
Permasalahan yang terdapat pada transportasi publik tersebut diatas telah menimbulkan budaya yang menganggap bahwa pengguna transportasi publik adalah masyarakat yang terpinggirkan atau masyarakat kelas bawah. Ciri prestige pada sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi kendala yang paling utama. Masyarakat masih selalu menilai segala sesuatu dari nilai ekonomi sehingga menjadikan transportasi publik diidentikkan dengan masyarakat kelas menengah ke bawah. Apalagi dengan dimanjakannya pengguna kendaraan bermotor seperti pembangunan berbagai fasilitas jalan, baik dengan cara mengembangkan jalan yang sudah ada atau pembangunan jalan baru. Persepsi-persepsi negatif tentang kendaran umum tersebut harus dirubah untuk mencapai sistem transportasi yang berkelanjutan.
B. Potensi Transportasi Publik di Perkotaan Indonesia
Saat ini, kebutuhan transportasi publik di perkotaan Indonesia dilayani oleh bus kota (patas dan ekonomi), angkutan kota (mikrolet, MPU lebih populer disebut bemo), taksi, Angguna (angkutan serba guna), becak, dan kereta api Komuter didukung oleh terminal-terminal yang representatif. Jumlah masing-masing angkutan umum tersebut bervariasi di setiap kota, namun sebenarnya cukup banyak, namun ada juga yang rusak atau tidak mencukupi.
Berikut sampel keadaan potensi transportasi publik di perkotaan Indonesia dengan mengambil daerah Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta di Indonesia. Berdasarkan Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan oleh Siti Aminah (tt):
1. Jumlah mikrolet di Surabaya sebanyak 5.173 unit dengan kapasitas 62.076 tempat duduk, yang terbagi atas 59 trayek utama menurut data yang dihimpun dari Pemkot Surabaya.
2. Jumlah taksi di Surabaya yang memperoleh ijin Surat Perizinan Wali Kota (SPW) sebanyak 5.835 unit, namun hanya 5.130 unit yang direalisasikan. Dari jumlah itu, hanya 4.170 unit yang saat ini beroperasi (Data Pemkot Surabaya).
3. Bus kota yang beroperasi di Surabaya dalam catatan Dishub Kota Surabaya sebanyak 445 unit, 12 unit di antaranya izinnya dikeluarkan oleh Dishub Kota Surabaya. Izin untuk 433 unit lainnya dikeluarkan oleh Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Jawa Timur karena rutenya tidak hanya mencakup wilayah Kota Surabaya, tetapi menjang-kau Kota Sidoarjo.
4. Angguna (angkutan serba guna) yang jumlahnya 1.178 unit, namun hanya 785 unit yang beroperasi, sedangkan sisanya dinyatakan dalam kondisi rusak (Pemkot Surabaya, 2006).
5. Data Dinas Perhubungan kota Surabaya mencatat sampai tahun 2005 ada 59 trayek yang dilayani moda angkutan mikrolet, dan 22 trayek oleh bus kota.
Potensi transportasi publik yang cukup besar dan baru terealisasi tahun-tahun terakhir ini adalah pengelolaan transportasi publik berupa Busway di Kota Jakarta. Kemunculan busway sangat erat kaitannya dengan era reformasi pada tahun 1997. Krisis yang terjadi pada armada angkutan umum menyebabkan hanya sekitar 60% angkutan yang beroperasi di jalan raya, ditambah lagi keengganan karena harga suku cadang yang melambung sehingga menyebabkan banyak perusahaan angkutan bangkrut karena tarif tidak bisa dinaikkan. Oleh karena itu, muncul pemikiran untuk menyelematkan angkutan umum dengan didorong oleh semangat reformasi, sistem busway diluncurkan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem transportasi publik di Jakarta (Sutomo, 2007 dalam seminar bertema ”Sustainable Transportation System in DKI Jakarta” ).
Proses kemunculan busway pun sangat menarik karena membuktikan komitmen politik yang tinggi antara Gubernur DKI dan DPRD. Peluncuran BRT (Bus Rapid Transit) menjadi lancar karena adanya kesepakatan dan kesolidan pemerintah dalam mendukung program ini juga dengan dukungan dunia internasional. Agar tercapai sesuai yang dikehendaki maka pada tahap awal perencanaannya, beberapa staf ahli mendapatkan technical assistance di Bogota yang terkenal dengan sistem Bus Rapid Transit -nya. Menurut Sutomo (2007), karena proses tersebut, proses munculnya sistem busway di Jakarta yang hanya membutuhkan waktu 2.5 tahun. Waktu yang cukup pendek jika dibandingkan dengan kemunculan busway di Bogota yang membutuhkan waktu 4 tahun. Karena proses yang dipercepat ini membuat armada pertama dibeli oleh pemerintah, padahal hal tersebut sebenarnya kurang sehat dalam sistem pengelolaan busway.
Transportasi busway BRT (Bus Rapid Transit) di Indonesia dikembangkan berdasarkan analisis faktor-faktor yang menyebabkan buruknya pengelolaan angkutan umum di Indonesia selama ini agar tidak mengulang dan melakukan kesalahan yang sama. Berbagai konsep baru dalam transportasi publik dilaksanakan dalam sistem busway. Beberapa konsep tersebut adalah sebagai berikut (Sutomo, 2007):
1. Pemerintah menanggung kerugian jika terjadi defisit sehingga pihak swasta sebagai penyelenggara tidak menanggung semua resiko.
2. Penggunaan bus membuat proses lisensi kendaraan yang terlihat korupsi dihilangkan.
3. Sistem rute yang jelas sehingga menghindari terjadinya penyabotan rute yang biasa dilakukan antar kendaraan umum.
4. Bus mempunyai tarif yang relatif layak sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
5. Pelayanan bus yang nyaman sehingga memenuhi standar pelayanan agar masyarakat dengan suka rela berpindah untuk menggunakn busway.
6. Sistem pembayaran bukan di dalam kendaraan (on-board cash payment), tetapi di luar kendaraan sebelum memasuki kendaraan untuk mengurangi kerugian akibat penyetoran yang dimanipulasi.
7. Menggunakan sistem tiket sehingga memudahkan pengontrolan.
8. Supervisi dan pengontrolan yang ketat untuk menjaga sistemnya yang baik tidak berubah.
9. Keamanan di terminal dan di dalam busway yang dijaga sehingga memenuhi standar pelayanan keamanan.
10. Integrasi sistem dimana antar sistem saling terhubung dan terkoordinasi dengan baik sehingga tidak terjadi kekacauan.
Indonesia sudah menguasai pengelolaan bus sejak lama, yaitu dari pengoperasian trem hingga bus-bus besar seperti bus tingkat sehingga pilihan transportasi bus dianggap tepat. Beberapa sarana yang sudah ada pun dapat dimanfaatkan untuk melengkapi angkutan umum bus seperti jembatan penyeberangan.
Tahun 2004 adalah tahun dimana busway mulai dikembangkan dengan membangun rute 1 (koridor 1) sepanjang 13 km untuk jenis bus Diesel. Rute 2 dan 3 sepanjang 33.8 km dibangun pada tahun 2006 dengan jenis bus CNG (compressed natural gas) dan pada tahun 2007, rute 4,5,6,7 dibangun sepanjang 51.2 km dengan konsep baru yaitu mulai digunakannya bis articulated CNG pada rute 5 (Sutomo, 2007). Busway juga memberikan image baru tentang transportasi publik khusunya bus di Indonesia, yaitu semua bus difasilitasi AC, pelayanan cepat yaitu dapat mempersingkat waktu tempuh menjadi separuhnya, tarif murah Rp 3500 (US 3 cent), atau tarif khusus pada pagi hari (jam 07.00) yaitu Rp 2000, frekuensi pemberangkatan 3-5 menit, dan pelayanan yang lebih lama yaitu dari pukul 5 pagi hingga 10 malam.
Sutomo (2007) juga menyatakan bahwa kemunculan busway juga menimbulkan dampak yang cukup sehat, baik secara ekonomi maupun sosial dan memperbaiki kebiasaan pengguna kendaraan umum. Maksud dari memperbaiki kebiasaan pengguna kendaraan umum ditandai dengan tidak ada kebut-kebutan, berhenti hanya di perhentian bus, tidak ada masa menunggu lama, promosi kebiasaan jalan kaki, pedestrian yang dipercantik dan dikelola agar dapat digunakan dengan nyaman, kebiasaan menyeberang di jembatan penyeberangan dan kebiasaan untuk lebih tertib sebagai penumpang bus. Sedangkan secara sosial, busway juga memungkinkan pengguna dari segala lapisan masyarakat sehingga meningkatkan interaksi masyarakat dan menyetarakan masyarakat. Kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi juga berubah, yaitu munculnya kebiasaan parkir kendaraan pribadi di daerah tertentu yang berdekatan dengan pemberhentian busway kemudian melanjutkan perjalanan dengan busway (park + ride and kiss + ride). Pola-pola baru ini membawa dampak pada pengembangan ekonomi melalui pengembangan daerah sepanjang koridor dan lebih atraktifnya kegiatan bisnis di daerah sekitar stasiun busway. Tercatat 14% pengguna kendaraan pribadi, 6% pengguna motor dan 5% pengguna taksi beralih ke busway (Sutomo, 2007).
Berbagai kebijakan diterapkan kepada supir dan pegawai busway di antaranya denda atas beberapa tindakan yang tidak memuaskan atau pelanggaran aturan untuk menjaga kualitas pelayanan busway. Sebelumnya pun telah ditelaah mengenai biaya pengelolaan busway agar hasilnya tidak salah. Pengelolaan busway membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bus diesel yang dibeli oleh pemerintah saat operasional busway pertama kali mempunyai pembiayaan yang relatif murah dibandingkan dengan bus CNG karena bus CNG membutuhkan biaya pengelolaan dua kali lipat biaya pengelolaa bus Diesel (Tabel 1). Pemerintah melakukan tender untuk membiayai pengelolaan busway yang pemenangnya ditentukan berdasarkan harga terendah yang ditawarkan pengusaha dengan masa kontrak 7 tahun, yaitu sama dengan usia bus.
Tabel 1. Biaya Pengoperasian Busway
Route/Bus Type Cost/km
1 : Regular-diesel Rp 6,000 (US$ 0.66)
2,3 : Regular -CNG Rp 13,200 (US$ 1.45)
4,6,7 : Regular – CNG Rp 12,600 (US$ 1.38)
5 : Articulated – CNG Rp 18,700 (US$ 2.10)
Sumber: Sutomo, 2007
C. Studi Kasus: Kota Jakarta
Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dengan keadaan kota yang metropolitan maka seharusnya keadaan sistem transportasi di Kota Jakarta sangat baik untuk melayani warga, namun yang terjadi adalah sebaliknya, semakin besar dan kompleks kegiatas di suatu kota maka semakin terlihat bahwa kondisi transportasi kota tersebut buruk.
Diawali dengan pengembangan wilayah Kota Jakarta yang cenderung sangat dispersif (tersebar luas) di daerah suburban, bahkan sampai di kota-kota tetangga maka imbasnya adalah kondisi sistem transportasi yang tidak baik karena sistem transportasi tidak dikembangkan atau dikembangkan tetapi tidak secepat tumbuhnya pengembangan daerah maka yang terjadi adalah bertambah panjangnya kemacetan lalu-lintas. Apalagi, dengan posisi Kota Jakarta sebagai sentral dari perputaran bisnis dan ekonomi menyebabkan Kota Jakarta sendiri dan kota-kota penyangga di luarnya berdampak mengalami kenaikan angka kemacetan. Tidak hanya di Kota Jakarta, tetapi sudah sampai di daerah suburban, bahkan pada jam puncak, ruas tol tidak dapat lagi memampung kendaraan. Selain itu, dari keadaan yang ada, dapat disimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan Pemprov DKI adalah hanya infrastruktur untuk kebutuhan pergerakan kendaraan bermotor, sedangkan infrastruktur yang dibutuhkan pejalan kaki dan pengendara sepeda seperti trotoar terabaikan. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat lebih memilih transportasi pribadi.
Pada tahun 1970an pemakaian kendaraan umum sebesar 70% total pemakaian kendaraan di jalan. Angka ini mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu sebesar 57% di tahun 1985 dan hanya 45% di tahun 2000 (Sutomo, 2007). Transportasi publik di Jakarta dapat dibagi menjadi 3 jenis, yakni moda Kereta Api, moda transportasi umum jalan raya, seperti Busway, bus kota, dan angkutan kota, yang terakhir adalah transportasi umum semi privat, seperti taksi, bajaj, ojek, dan sebagainya (Anonim, 2010). Pada masa yang akan datang, moda transportasi rel kereta dan transportasi jalan raya pada dasarnya akan disinergikan dan memang penting untuk disinergikan, namun dengan penataan yang lebih baik, dan berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan tata ruang wilayah kota sehingga perpindahan orang dari satu moda satu ke moda lainnya tetap mudah, murah, cepat, dan nyaman. Akan tetapi, belum ada konsepsi yang jelas mengenai jenis transportasi umum semi privat karena saat ini menjadi pilihan masyarakat yang cukup dominan dengan privilege yang transportasi tersebut miliki, yakni adanya privasi dan kecepatan yang bisa ditentukan.
Tahun-tahun terakhir ini menunjukkan minat Pemprov DKI untuk memperbaiki sistem transportasinya dengan mengembangkan transportasi publik. Transportasi publik yang dikembangkan di Kota Jakarta adalah Bus TransJakarta yang juga dikenal dengan sebutan busway. Susilo (2008) menyebutkan lajur khusus Bus (Busway) TransJakarta berada di tengah jalan, dengan 1 lajur per arah sehingga antar bus TransJakarta tidak dapat saling mendahului karena lajur yang dimiliki hanya 1 lajur dengan lebar minimum 3,6 meter. Secara umum, kondisi permukaan jalan pada lajur busway masih dalam kondisi baik.
Kondisi halte TransJakarta tergolong cukup baik dan terawat. Halte Harmoni Central Busway (HCB) merupakan halte busway terbesar di sistem TransJakarta karena halte HCB berperan sebagai titik pusat transit bagi para penumpang busway yang ingin berganti koridor. Sistem TransJakarta hanya memiliki satu titik transit, padahal memiliki potensi pengangkutan yang sangat besar karena meskipun dimensi haltenya lebih besar, sering terlihat kepadatan penumpang di halte ini. Permasalahan lain adalah keseriusan pengelola busway dalam menjaga dan merawat perangkat halte. Terlihat ada papan lantai yang jebol dan rusak serta lantai beton yang ambruk pada beberapa halte seperti di Halte Bendungan Hilir. Kondisi tersebut tidak langsung diperbaiki agar tidak semakin parah padahal sangat membahayakan bagi para calon penumpang yang melewatinya.
Dikarenakan oleh sistem pengoperasian BRT (Bus Rapid Transit) Curitiba yang sedikit berbeda dengan TransJakarta maka BRT (Bus Rapid Transit) di Curitiba berbeda dengan peruntukan lajur khusus bus (busway) TransJakarta karena BRT (Bus Rapid Transit) Curitiba memiliki lajur sebanyak 2 lajur pada masing-masing arah pergerakan. Lajur BRT (Bus Rapid Transit) dijadikan dua untuk mengakomodir bus yang melayani layanan ekspress dimana bus tersebut tidak berhenti disemua halte sehingga antar BRT (Bus Rapid Transit) masih dapat saling menyalip tergantung pada fungsi layanan bus tersebut saat itu.
3.3 Transportasi Publik di Kota Curitiba, Brazil
Curitiba adalah kota di negara berkembang Brazil yang berhasil dalam menerapkan transportasi publik. Transportasi publik yang dikembangkan di Kota Curitiba adalah Bus Rapid Transit. Kota Curitiba telah diwujudkan kota menjadi yang kompak untuk mengembangkan transportasi publik yang berkelanjutan karena integrasi antara perencanaan transportasi dengan struktur ruang kota sangat menentukan keberhasilan tersebut untuk mempengaruhi masyarakat menggunakan BRT (Bus Rapid Transit) tersebut.
Konsep transportasi berkelanjutan diterapkan pemerintah Kota Curitiba dalam bidang trasnportasi di negaranya dengan memperbaiki infrastruktur transportasi terutama untuk memperlancar kegiatan transportasi publik. Pemerintah Kota Curitiba sampai merancang sedemikian rupa sehingga dilakukanlah pemisahan jalur antara kendaraan umum dan pribadi. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan dan emisi kendaraan, bahkan di Kota Curitiba direncanakan ruang publik juga untuk mengurangi polusi udara. Semua itu dilakukan agar generasi mendatang tidak menanggung permasalahan transportasi yang tentunya akan bertambah mengingat pengguna kendaraan pribadi akan semakin banyak tiap tahunnya seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Penggunaan BRT (Bus Rapid Transit) dikarenakan biaya yang dikeluarkan akan lebih kecil diantara tiga mode utama transportasi umum yaitu Kereta Api Bawah Tanah, Kereta Api Sistem Cahaya, dan BRT (Bus Rapid Transit). Menurut Laube & Schwenk (2007), biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan jalur Kereta Api Bawah Tanah adalah $ 100 juta per kilometer dan Kereta Api Sistem Cahaya adalah $ 20 juta per kilometer, sedangkan BRT (Bus Rapid Transit) hanya $ 1 sampai 2 juta per kilometer dan waktu yang dibutuhkan untuk membangun sistem BRT (Bus Rapid Transit) hanya dua sampai tiga tahun, sedangkan Kereta Api Bawah Sistem Cahaya selama 10 tahun dan Kereta Api Bawah Tanah selama 30 tahun. Pengadaan transportasi publik berupa BRT (Bus Rapid Transit) lebih meminimalkan dana, tetapi tetap dapat menjalakan fungsinya sebagai transportasi publik yang terjangkau, cepat, dan muat untuk banyak orang.
BRT (Bus Rapid Transit) adalah alat transportasi utama yang menyenangkan dan menjadi keunggulan di Kota Curitiba. Prinsip utama yang dipergunakan adalah pembangunan kota yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia, bukan mobil. Sistem busway tersebut direncanakan berdasarkan rencana induk kota yang bertujuan:
1. Menahan laju urban sprawl dengan menekan volume lalu lintas kendaraan bermotor yang masuk ke pusat kota. Masyarakat urban sprawl menggunakan transportasi publik sebagai transportasi utama ke pusat kegiatan sehingga kebutuhan perangkutannya terakomodir menjadi satu.
2. Melestarikan bagian kota yang bersejarah dengan tidak memaksakan daerahnya menjadi lahan parkir atau untuk membangun jalan. Malah dengan adanya infrstruktur pembangkit, seperti jalur pejalan kaki dan jalur bersepeda membuat masyarakat lebih tahu tentang bangunan-bangunan bersejarah sehingga lebih menghargainya.
3. Membangun sistem transportasi umum yang nyaman dan terjangkau. BRT dapat menjadi pilihan transportasi yang nyaman dan terjangkau bagi semua kalangan.
Agar memungkinkan distribusi rute bus yang seimbang maka sepuluh perusahaan bus swasta dibayar berdasarkan jarak tempuh bukan volume penumpang. BRT (Bus Rapid Transit) Kota Curitiba menggunakan tiga jenis bus untuk mengakomodasi volume penumpang yang sangat tinggi, antara lain bus berkapasitas penumpang 110 orang, bus dengan kapasitas 160 orang, dan bus berkapasitas 270 orang. Total Bus yang beroperasi adalah 1902 bus dapat mengangkut 2 juta penumpang dengan 12.500 total perjalanan setiap harinya. Menurut Eryudhawan (2009), salah satu keunikan bus-bus tersebut adalah ketika berhenti dan pintu terbuka, papan pijakan dari bus ikut terbuka dan menutup celah antara lantai bus dan lantai halte. Dengan desain seperti itu sangat aman untuk pergerakan keluar masuk penumpang, bahkan sangat aman digunakan bagi bagi penyandang cacat, orang tua, dan anak-anak. Terdapat 12 terminal penumpang di Kota Curitiba, yang tersebar di seluruh penjuru (Navastara, 2007). Terminal-terminal tersebut membuat penumpang dapat meninggalkan dan berganti bus tanpa harus membeli tiket baru sehingga sangat memudahkan pengguna. Penumpang membayar ongkos sekitar 40 sen untuk perjalanan seluruh sistem dengan transfer tanpa batas antara bus di terminal. Transfer terjadi dalam bagian prabayar dari terminal, sehingga transfer tiket tidak diperlukan. Berbagai fasilitas kemudahan juga diberikan di lingkungan terminal, seperti ketersediaan layanan telepon umum, kantor pos, koran dinding, dan toilet kecil.
BRT (Bus Rapid Transit) memiliki jalur ekslusif sendiri (disterilkan dari kendaraan lain) yang dirancang seperti sistem kereta api bawah tanah yang melaju di jalur eksklusif tanpa hambatan dan jalur ekslusif BRT (Bus Rapid Transit) tersebut digunakan oleh busway dua arah. Jalur tersebut diapit oleh jalan kendaraan pribadi di kedua sisinya. Koridor busway tersebut dapat digunakan untuk ambulans dan kendaraan polisi dalam keadaan darurat, namun tidak akan menimbulkan masalah karena koridor BRT (Bus Rapid Transit) merupakan jalur dua arah yang memungkinkan kendaraan menyalip. Jalur pemberhentian BRT (Bus Rapid Transit) berbentuk silinder/tabung, dimana tabung tersebut dirancang untuk memberikan perlindungan dari unsur-unsur luar, memfasilitasi beban simultan dan bongkar muat penumpang, termasuk kursi roda.
Keberhasilan Kota Curitiba dalam menerapkan transportasi publik sebagai transportasi yang digunakan masyarakat dengan senang hati melalui pengoperasian BRT (Bus Rapid Transit) dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui kebijakan teknis dengan mengurangi fasilitas parkir kendaraan bermotor sehingga tidak ada pilihan lain bagi masyarakat agar masyarakat mulai membiasakan menggunakan transportasi publik, tingkat pelayanan bus tersebut yang lebih tinggi dari pelayanan kendaraan pribadi telah mampu mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan kendaraan pribadi, dan menempatkan 200 radar lalu lintas berbasis sensor di seluruh penjuru jalanan utama sehingga lebih memberi jaminan keselamatan kepada pengguna jalan dan mecegah kemacetan. Menurut Navastara (2007), teknologi ini dipasang di trotoar yang dilengkapi kamera digital. Radar ini berfungsi untuk mendeteksi setiap mobil yang melaju di atas speed limit, jika terjadi maka radar akan merekam nomor mobil, waktu, dan tempat kejadian yang selanjtnya dikirim ke tempat tinggal sang pengemudi dan diharuskan membayar denda.
Selain membangun jalur BRT (Bus Rapid Transit) sepanjang 72 kilometer, Kota Curitiba juga membangun jalur khusus untuk sepeda sepanjang 150 kilometer (Dharma, 2005). Pemerintah Kota Curitiba mangerti akan perlunya integrasi antara transportasi publik dengan sistem kendaraan tak bermotor sehingga sistem BRT (Bus Rapid Transit) ditunjang oleh fasilitas kendaraan tak bermotor untuk menunjang kepentingan pejalan kaki dan pesepeda. Dharma (2005) juga menyebutkan bahwa beberapa ruas jalan yang padat dengan pertokoan ditutup bagi kendaraan bermotor dan diubah menjadi daerah khusus untuk sirkulasi pejalan kaki saja dengan memastikan bahwa calon penumpang dapat mencapai halte dalam jarak tidak lebih dari 400 meter, seiring dengan hal tersebut dibangun pula jalur sepeda (bikeways) di sepanjang koridor busway yang mencapai 130 kilometer. Proses pencapaian ke halte juga dibuat senyaman mungkin dengan adnya fasilitas zebra cross karena pembuatan jembatan penyeberangan dianggap tidak akrab bagi penyandang cacat dan orang tua.
Transportasi publik yang diberlakukan di Kota Curitiba dapat disebut berkelanjutan karena telah didasarkan atas konsep kebutuhan dan konsep keterbatasan. Konsep kebutuhan berarti bahwa transportasi publik tersebut telah memenuhi kebutuhan transportasi yang memadai bagi seluruh penduduk Kota Curitiba, sedangkan konsep keterbatasan berarti memperhatikan dan menjaga kapasitas lingkungan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan akan datang melalui penghematan energi yang terwujud lewat penggunaan BRT (Bus Rapid Transit). Selain itu, sistem transportasi tersebut juga dikatakan berkelanjutan karena berintegrasi dengan lingkungan, ekonomi, dan sosial:
1. Penggunaan BRT (Bus Rapid Transit) mampu menciptakan penghematan energi yang sangat besar dengan mengurani jumlah kendaraan yang mengkonsumsi energi karena beralih ke transportasi publik. Hal tersebut menunjukkan integrasi BRT (Bus Rapid Transit) dengan lingkungan. Selain itu, transportasi publik juga menyisakan banyak ruang untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas bagi pejalan kaki dan pesepeda.
2. Penggunaan BRT (Bus Rapid Transit) mengakibatkan penghematan pengeluaran sehingga menunjukkan integrasinya dengan ekonomi. Penduduk cukup mengeluarkan sedikit dari pendapatan tahunan mereka untuk memenuhi kebutuhan transportasidengan tetap memperoleh pelayanan transportasi yang baik, seperti jaminan kemanan, keselamatan, dan kenyamanan.
3. Perubahan gaya hidup masyarakat yang dulu sangat bergantung terhadap kendaraan pribadi menjadi akrab dengan transportasi publik dan meninggalkan kendaraan pribadi. Hal tersebut membuat kesempatan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial dengan bertemu dalam bus dan di jalur pejalan kaki. Selai itu, mewujudkan kesetaraan bagi masyarakat Kota Curitiba karena saat berada dalam bus dan jalur pejalan kaki, mereka menjadi setara tanpa perbedaan. Semua itu menunjukkan integrasi BRT (Bus Rapid Transit) dengan sosial budaya.
Ketiga integrasi tersebut tidak hanya berlaku untuk penggunaan BRT (Bus Rapid Transit) karena apabila diusahakan dengan baik, sistem transportasi publik dengan akan menciptakan ketiga integrasi tersebut.
Negara Brazil yang merupakan tempat Kota Curitiba berada adalah Negara berkembang sama dengan Negara Indonesia. Pada awalnya terdapat asumsi bahwa sistem transportasi yang baik hanya akan berhasil jika diterapkan di negara maju saja karena negara berkembang memiliki masyarakat dengan pola pikir terbatas dan sulit untuk diubah, akan tetapi keberhasilan Kota Curitiba telah membuktikan bahwa suatu perencanaan transportasi publik yang berkelanjutan dapat terwujud dengan komitmen yang kuat dan masyarakat yang memiliki pemikiran ke depan dalam mengubah gaya hidup untuk menciptakan keberlanjutan. Padahal, pada awalnya keadaan Kota Curitiba termsuk sistem transportasinya tidak berbeda jauh dengan keadaan perkotaan di Indonesia.
3.4 Strategi Penerapan Transportasi Publik di Perkotaan Indonesia
Kerumitan dalam transportasi publik bukan hanya menjadi masalah pemerintah, melainkan juga masyarakat. Bagi pemerintah, penyelenggaraan transportasi publik berarti pemerintah harus membuat kebijakan untuk pengadaan transportasi publik tersebut mulai dari yang bersifat teknis, sosiologis hingga politis, seperti pengadaan lahan, penataan ruang, dan modal. Hal tersebut mengharuskan interaksi pemerintah dengan kekuatan kapital.
Dalam prakteknya, masalah yang terlihat atau dirasakan oleh pengguna dan masyarakat adalah kondisi pelayanan sistem angkutan umum, seperti: kenyamanan, tarif, waktu perjalanan, waktu tunggu, aksesibilitas dan lain sebagainya dan jika dilihat secara detail, masalah operasional tersebut merupakan hasil interaksi penyusunan kebijakan (Kardady, 2010). Oleh karena itu, penyelesaian masalah angkutan umum harus dimulai dengan mengkaji kebijakan makro sistem kota dan kebijakan manajemen angkutan umum yang ada kemudian dilanjutkan dengan menyusun program secara teknis di lapangan.
Menurut Kardady (2010), pengkajian masalah yang ada dapat dibedakan secara terirarkhi dan karena dalam sistem transportasi juga terdapat tiga tingkatan penanganan, yakni tingkat kebijakan (policy level), tingkat pengelolaan (management level) dan tingkat operasional (operating level):
1. Pada tingkat kebijakan (policy level) dilakukan dengan review kebijakan, baik yang di putuskan di tingkat pusat (UU, PP, Kepmenhub) maupun di daerah (Peraturan Daerah) yang berkaitan dengan penyediaan sistem angkutan umum. Penelaah akan dilakukan dengan mempergunakan analisis aspirasi dan persepsi, yaitu aspirasi pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah (regulator) maupun persepsi pelaksana jasa transportasi (operator) dan pengguna (user).
2. Analisis pada tingkat pengelolaan (managerial level) dilakukan dengan meninjau pengelolaan sistem angkutan umum yang dilakukan oleh regulator. Regulator dalam hal ini adalah jajaran Pemda Propinsi Jawa Barat (termasuk Dinas Perhubungan). Analisis ini meliputi aspek perencanaan yang berkaitan dengan penataan rute trayek, penetapan jenis dan jumlah armada, sistem tarif, proses perijinan dan aspek–aspek lain yang terkait. Analisis ini perlu dilakukan dalam usaha untuk mengidentifikasi akar permasalahan secara sistem untuk menemukan formula bagi usaha optimasi peranan dan fungsi sistem angkutan umum.
3. Analisis pada tingkat operasional (operational level) digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik permasalahan pada operasi angkutan umum, baik yang timbul dari sisi permintaan maupun dari sisi sediaan jaringan angkutan umum yang ada. Penelaahan dilakukan secara spesifik terhadap pola interaksi setiap komponen sistem angkutan umum dan hasil yang diinginkan. Analisis ini utamanya berupa studi teknis yang mencakup besaran input (biaya investasi, biaya operasi, pemeliharaan) dan besaran output (kapasitas layan, jumlah rit, kecepatan operasi).
Pembanguanan transportasi publik membutuhkan perencanaan yang matang dan sistematis untuk menciptakan sistem transportasi publik yang berkelanjutan, karena itu perlu ada revitalisasi dalam semua aspek:
1. Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah transportasi harus diharmonisasikan, sehingga dapat berjalan beriringan atau tidak tumpang tindih bahkan dapat saling melengkapi.
Selain mengharmoniskan kebijakan master plan sistem transportasi dari tingkat paling atas sampai yang paling bawah dan antar master plan sistem transportasi wilayah, kebijakan tentang master plan sistem transportasi harus disesuaikan dengan kebijakan penataan ruang kota karena sistem transportasi harus disesuikan dengan tipologi lingkungan dan pengembangan wilayahnya.
Pembangunan wilayah harus terintegrasi dengan pengembangan jaringan transportasi karena antara perencanaan pengembangan wilayah dan pengembangan sistem tranportasi adalah saling berinteraksi dan mempengaruhi. Pengembangan wilayah di suatu daerah akan menciptakan atau menimbulkan sistem tarnsportasi yang baru dan demikian sebaliknya, bahwa pembuatan jaringan trasnportasi akan membuat tumbuhnya wilayah-wilayah terbangun. Sangat dibutuhkan pengembangan secara terpadu, baik pengembangan kawasan permukiman baru beserta pengembangan jaringan transportasi dan moda transportasinya sehingga saling mendukung dan tidak menjadi kesulitan di masa mendatang. Pengembangan jaringan dan moda transportasi yang tidak dipersiapkan secara terpadu dengan pengembangan wilayah memperlihatkan bahwa dalam penanganan transportasi, pemerintah Indonesia bersifat tanggap setelah terjadi, tidak bersifat menanggulangi (mencegah sebelum terjadi).
Kebijkan tentang master plan sistem transportasi juga harus disesuikan dengan budaya setempat serta sesuai dengan kaidah-kaidah transportasi.
2. Pemerintah daerah berperan penting dalam kebijakan transportasi publik untuk membuat perencanaan dan implementasi. Pemerintah daerah menerapkan kebijakan sosial dan kebijakan teknis yang dapat memperbaiki sistem transportasi sehingga dapat melayani kebutuhan masyarakat secara baik dan terpadu.
Kebijakan tersebut dapat berwujud pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi (mobil dan motor) untuk setiap keluarga, adanya peraturan tentang zona pembatasan kendaraan dan peningkatan biaya parkir dan adanya kebijakan tentang mengembalikan biaya eksternalitas kepada pencemar (pengguna kendaraan pribadi), misalnya dalam bentuk pajak lingkungan. Beban pencemaran tidak lagi ditanggung oleh publik namun oleh pencemar dan digunakan kepada masyarakat dalam bentuk tunjangan kesehatan atau lainnya.
3. Perlu perencanaan pengembangan wialyah yang dapat berdampak positif terhadap pengembangan transportasi.
Berbagai kota modern di negara maju mencotohkan pengembangan permukiman vertical dalam bentuk rumah susun yang terkonsentrasi di perkotaan. Dengan keberadaanya yang memusat di perkotaan maka akan memperpendek jarak perpidahan dan setiap orang akan menuju arah tempat kegiatan yang sama sehingga tidak terjadi saling berbenturan. Hal tersebut akan mengurangi waktu perjalanan dan mencegah kemacetan sehingga berdampak pada mengurangi dampak ikutan berupa polusi udara dan polusi suara, bahkan luasan pencemaran dapat ditekan sekecil mungkin.
4. Berusaha mengurangi dampak lingkungan menjadi sekecil-kecilnya.
Perlu penetapan batas ambang kualitas udara dan kebisingan dilengkapi dengan hasil monitoring kualitas udara dan kebisingan. Hal tersebut merupakan bagian dari konsep lingkungan yang menjadi sangat penting dan sering terlupakan dalam konsep berkelanjutan. Sebaiknya pemerintah pusat juga mengembangkan sistem informasi kualitas udara dan kebisingan di seluruh penjuru Indonesia sehingga masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Dengan adanya penetapan batas ambang tersebut maka diharapkan penggunaan moda kendaraan dapat diseleksi untuk penggunaan tekhnologi yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan lainnya terkait lingkungan, seperti perlu disyaratkan penanaman pohon di sepanjang pinggir jalan untuk menyerap polusi dan menahan kebisingan dalam setiap pembangunan infrastruktur jalan, bahkan berusaha mengganti teknologi yang ada selama ini dengan penggunaan teknologi ramah lingkungan pada angkutan umum.
5. Sistem pelayanan transportasi umum harus diselaraskan dengan standar pelayanan minimum dan ditujukan untuk pengangkutan dalam jumlah banyak dan cepat sehingga menjadi daya tarik bagi pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke moda angkutan umum.
6. Program untuk mendorong penggunaan angkutan umum sehingga mengurangi perjalanan dengan mobil pribadi maka yang perlu diperhatikan juga adalah kebijakan tentang pengadaan infrastruktur pembangkit, seperti pedestarian dan jalus bersepeda maka hal penting lainnya adalah meningkatkan integrasi transportasi dan perencanaan pemanfaatan lahan.
Tidak semua orang akan langsung menemukan angkutan umum begitu keluar dari rumah atau tempat kegiatan. Sebelum naik angkutan umum, sebagian orang akan berjalan atau bersepeda untuk menemukan jaringannya. Oleh karena itu, untuk mengembangkan transportasi publik tidak hanya memperhatikan jaringan angkutan umumnya, tetapi juga harus mengintegrasikannya dengan jaringan bagi pejalan kaki dan sepeda (kendaraan tidak bermotor). Keduanya harus saling mendukung untuk membuat pengguna angkutan umum nyaman sehingga lebih memilih transportasi publik dibanding transportasi pribadi. Jalur pedestarian dan sepeda dengan jalan bagi angkutan umum harus diintegrasikan dengan memperhatikan kemampuan pejalan kaki yang kemampuan untuk masing-masing orang berbeda berdasarkan umur dan kesempurnaannnya (berbeda bagi penyandang cacat). Kemampuan pejalan kaki tersebut dapat dirata-ratakan dalam kemampuan berjalan kaki bagi orang Indonesia karena kemampuan rata-rata berjalan kaki bagi masyarakat masing-masing berbeda-beda dan salah satunya bergantung pada keadaan tipologis dan cuaca wilayahnya. Selain itu, penyediaan fasilitas jalan dan penyebrangan bagi para pejalan kaki, orang cacat dan sepeda harus disediakan (asas keadilan).
7. Penguatan budaya penggunaan angkutan umum melalui sosialisasi sangat diperlukan.
Saat ini, penggunaan mobil pribadi masih dianggap mempunyai nilai prestisius yang lebih tinggi oleh masyarakat, sementara penggunaan angkutan umum masih dianggap rendah dalam strata budaya. Penting untuk menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya transportasi berkelanjutan. Berdasarkan Menigkatkan Kesadaran Masyarakat akan Transportasi Perkotaan Berkelanjutan (2006), hal tersebut dapat dilakukan melalui tiga jenis gerakan, yaitu:
a. Pesan Informatif: kenyataan pahit
Penyebaran informasi mengenai keadaan yang tidak menyenangkan saat ini karena tidak menggunakan transportasi berkelanjutan, seperti dampak lingkungan yang dapat ditampilkan dalam tabel, bagan atau grafik sehingga lebih informatif. Hal tersebut akan menggugah masyarakat akan pentingnya transportasi berkelanjutan.
b. Pesan Persuasif: kenyamanan dan kesejahteraan
Tahap yang ke-dua ini berusaha mengubah perilaku masyarakat secara efektif melalui rasa nyaman. Rasa nyaman akan mepengaruhi orang untuk melakukannya. Karena itu, persepsi-persepsi negatif mengenai transportasi publik harus dihilangkan dengan menunjukkan bahwa mengendarai transportasi publik itu member rasa nyaman melalui visualisasi yang menyenangkan. Tidak menggambarkan transportasi publik yang kotor, panas dan untuk kalangan bawah, namun sebaliknya.
c. Kegiatan Khusus: menuju transportasi berkelanjutan
Kegiatan ke-tiga ini untuk mempromosikan transportasi berkelanjutan melalui gerakan langsung, yaitu membiarkan orang langsung mencobanya, misalnya perjalanan gratis menggunakan transportasi publik. Kegiatan tersebut pernah dilakukan di Jakarta ketika mempromosikan busway, setelah resmi beroperasi, transJakarta memberi perjalanan gratis pada masyarakat selama dua minggu. Contoh gerakan promosi lainnya, seperti kegiatan bersepeda. Dengan kegiatan tersebut, membuat masyarakat tahu bahwa bersepeda menyenangkan dan tidak hanya identik untuk berolahraga, tetapi dapat digunakan sebagai transportasi sehari-hari. Selain itu, gerakan hari tanpa mobil akan membuat masyarakat tidak mepunyai pilihan selain menggunakan moda transportasi jenis lain. Hal tersebut membuat masyarakat merasakan mmoda transportasi lainnya, seperti bersepeda, berjalan kaki, atau angkutan umum.
Pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya transportasi berkelanjutan adalah karena pendapat masyarakat akan berpengaruh pada area-area kebijakan (Carlos F. Pardo, 2006):
a. Mempengaruhi perdebatan
Dengan adanya isu yang kuat dari masyarakat maka akan mengangkat perdebatan di tengah para pemangku dan profesional. Dari perdebatan tersebut akan mulai mengagendakan kegiatan publik. Apabila telah ada perdebatan sebelumnya maka selanjutnya akan memperdalam perdebatan sehingga menciptakan kebijakan dasar untuk suatu perencanaan (visi dan orientasi kebijakan).
b. Menciptakan dukungan untuk prakarsa kebijakan
Adanya dukungan dari publik akan prakarsa kebijakan untuk menanggulangi isu yang mengakhawatirkan masyarakat tersebut, misalnya muncul reformasi transportasi publik, perbaikan kondisi kendaraan tak bermotor, program udara bersih dengan bahan bakar dan tekhnologi yang ramah lingkungan. Dukungan tersebut akan memudahkan realisasi dan pengontrolan program dalam pelaksanaannya.
Dari tulisan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan transportasi yang berorientasi pada angkutan umum (transportasi publik) lebih cepat merealisasikan transportasi berkelanjutan daripada kendaraan pribadi terutama karena alasan lebih meminimalisasi dampak lingkungan. Adapun permasalahan utama dari sekian banyak permasalahan transportasi publik di perkotaan Indonesia adalah belum adanya standar pelayanan minimum, apalagi untuk memenuhi standar pelayanan minimum. Selain itu, infrastruktur pembangkit yang tersedia tidak memadai, bahkan angkutan massal yang tersedia masih kurang. Sedangkan, potensi transportsai publik yang utama di daerah perkotaan Indonesia adalah bahwa pada tahun 2004 telah terealisasi sistem angkutan massal transJakarta berupa busway. Strategi utama yang dapat dilakukan untuk menerapkan transportasi publik di perkotaan Indonesia adalah dengan peran pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan teknis untuk menumbuhkan budaya memakai angkutan umum, menguatkan budaya menggunakan transportasi publik agar tidak dipandang sebelah mata, dan pengintegrasian sistem transportasi dengan sistem tata ruang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar